Monday, 16 April 2012

TUGAS 26 MANFAAT KOMUNIKASI

MANFAAT KOMUNIKASI


Ditinjau dari prosesnya, pendidikan adalah komunikasi, karena dalam proses pendidikan terdapat komunikator, komunikan, dan pesan (message), yakni sebagai komponen-­komponen komunikasi. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, yang berarti pemberitahuan, pemberian bagian (dalam sesuatu), pertukaran, di mana si pembicara mengharapkan pertimbangan atau jawaban dari pendengarnya; ikut mengambil bagian. Kata sifatnya communis artinya bersifat umum atau bersama-sama. Kata kerjanya communicara, artinya berdialog, berunding atau bermusyawarah (Onong Uchjana Effendy, 1994:9 dan Anwar Arifin, 1992:19-20). Jadi, secara konseptual arti komunikasi itu sendiri sudah mengandung pengertian memberitahukan (dan menyebarkan) berita, pengetahuan, pikiran-pikiran, nilai-nilai dengan maksud untuk menggugah partisipasi agar hal-hal yang diberitahukan itu menjadi milik bersama.
Ditinjau dari efek yang diharapkan, tujuan komunikasi bersifat umum. Dalam hal inilah maka dalam proses komunikasi melahirkan istilah-istilah seperti penerangan, propaganda, indoktrinasi, pendidikan dan lain-lain. Inti dari itu semua adalah untuk mencapai persetujuan mengenai sesuatu pokok ataupun masalah yang merupakan kepentingan bersama.
Dengan demikian, pendidikan adalah bagian khususnya komunikasi, karena ia memiliki tujuan yang bersifat khusus. Memang dalam berbagai komunikasi yang sekedarnya mungkin tidak direncana, karenanya tidak dikatakan sebagai komunikasi pendidikan (educative communication), sementara komunikasi dalam proses pendidikan terjadi karena ada rencana dan ada tujuan yang diinginkan.
Pendidikan itu sendiri dapat dirumuskan dari sudut normatif, karena pendidikan menurut hakikatnya memang sebagai suatu peristiwa yang memiliki norma. Artinya, bahwa dalam peristiwa pendidikan, pendidik dan anak didik berpegang pada ukuran, norma hidup, pandangan terhadap individu dan masyarakat, nilai-nilai moral, kesusilaan yang semuanya merupakan sumber norma di dalam pendidikan. Aspek itu sangat dominan dalam merumuskan tujuan secara umum. Oleh karena itu, persoalan ini akan merupakan bidang pembahasan teori dan filsafat ilmu pendidikan. Tetapi di samping perumusan secara normatif pendidikan dapat pula dirumuskan dari sudut proses teknis, yakni terutama dilihat dari segi peristiwanya. Peristiwa dalam hal ini merupakan suatu kegiatan praktis yang berlangsung dalam satu masa dan terikat dalam satu situasi serta terarah pada satu tujuan. Peristiwa tersebut adalah satu rangkaian kegiatan komunikasi antar manusia, yaitu rangkaian kegiatan yang saling mempengaruhi. Satu rangkaian proses perubahan dan penumbuh­kembangan fungsi jasmaniah, penumbuh-kembangan watak, intelek dan sosial. Semua ini tercakup dalam peristiwa pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan itu merupakan himpunan kultural yang sangat kompleks yang dapat digunakan sebagai perencanaan kehidupan manusia. Sedangkan peristiwa atau proses interaksi pendidikannya adalah suatu proses teknis.
Di dalam proses teknis inilah secara spesifik disebut proses pembelajaran. Kata pembelajaran sengaja dipakai sebagai padanan kata dari kata instruction (bahasa Inggris). Kata instruction mempunyai pengertian yang lebih luas daripada pengajaran. Jika kata pengajaran ada dalam konteks guru-murid di kelas (ruang) formal, pembelajaran mencakup pula kegiatan belajar mengajar yang tidak dihadiri guru secara fisik. Oleh karena itu, dalam pembelajaran yang ditekankan adalah proses belajar, maka usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa kita sebut pembelajaran.
Masalah pembelajaran itu sendiri merupakan masalah yang cukup kompleks dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Dari sekian banyak definisi pembelajaran, di sini dikutip dua definisi yang dianut A. Chaedar Alwasilah (dalam pengantarnya untuk versi terjemahan buku Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning) sebagai berikut ini: (1) “A relatively permanent change in response potentiality which occurs as a result of reinforced practice” dan (2) “a change in human disposition or capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to the process of growth”. Dari dua definisi ini ada tiga prinsip yang layak diperhatikan. Pertama, proses pembelajaran menghasilkan perubahan perilaku anak didik yang relatif permanen. Tentunya, dalam proses ini terdapat peran penggiat pembelajaran, yakni guru atau dosen sebagai pelaku perubahan (agent of change)
Kedua, anak didik memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan tanpa henti. Oleh karena itu, proses pembelajaran seyogianya menyirami benih kodrati ini hingga tumbuh subur dan berbuah. Proses belajar mengajar, dengan demikian, adalah optimalisasi potensi diri sehingga dicapailah kualitas yang ideal.
Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh linear sejalan proses kehidupan. Artinya, proses belajar mengajar memang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, tetapi ia didesain secara khusus, dan diniati demi tercapainya kondisi atau kualitas ideal seperti di atas. Ketiga hal ini menegaskan definisi pembelajaran.
Dari ketiga hal tersebut di atas, tampak bahwa guru berposisi sebagai peran penggiat dalam proses optimalisasi diri siswa untuk menghasilkan perubahan perilaku yang relatif permanent (kualitas ideal). Guru disebut sebagai peran penggiat, karena dengan pertimbangan bahwa siswa adalah orang yang memiliki benih kodrati yang tidak terpisahkan dari lingkungan kehidupannya, maka dalam melaksanakan tugasnya sebagai peran penggiat, guru hendaknya memiliki kemampuan dalam merencana dan menciptakan lingkungan belajar secara kondusif bagi siswa­-siswanya.
Berdasarkan pemahaman tersebut, guru tidaklah dipahami sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi dengan posisinya sebagai peran penggiat tadi ia pun harus mampu merencana dan mencipta sumber-sumber belajar lainnya sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif. Sumber-sumber belajar selain guru inilah yang disebut sebagai penyalur atau penghubung pesan ajar yang diadakan dan/atau diciptakan secara terencana oleh para guru atau pendidik, biasanya dikenal sebagai “media pembelajaran”. Dengan demikian, komponen-komponen komunikasi pembelajaran menjadi komunikator, komunikan, pesan, dan media.
Kata media sebenarnya bukanlah kata asing bagi kita, tetapi pemahaman banyak orang terhadap kata tersebut berbeda-beda. Saat mengajar, saya sering bertanya kepada mahasiswa tentang “apa arti media”, jawaban mereka variatif, ada yang mengartikan sebagai alat informasi dan komunikasi, sarana prasarana, fasilitas, penunjang, penghubung, penyalur dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kata itu sendiri sering digunakan orang untuk beberapa hal yang berbeda-beda pula, misalnya sebagai ukuran (size) pakaian dan tanda pengaturan mesin pendingin (air conditioner) yang biasa disingkat menjadi “M” sebagai kepanjangan dari “medium”; ada juga yang memakainya dalam menjelaskan kata “pertengahan” seperti dalam kalimat “medio abad 19” (atau pertengahan abad 19); ada yang memakai kata media dalam istilah “mediasi”, yakni sebagai kata yang biasa dipakai dalam proses perdamaian dua belah pihak yang sedang bertikat dan lain-lain.
Jadi, apa sebenarnya arti kata media tersebut ? Kata media berasal dari Bahasa Latin, yakni medius yang secara harfiahnya berarti ‘tengah’, ‘pengantar’ atau ‘perantara’. Dalam bahasa Arab, media disebut ‘wasail’ bentuk jama’ dari ‘wasilah’ yakni sinonim al­wasil! yang artinya juga ‘tengah’. Kata ‘tengah’ itu sendiri berarti berada di antara dua sisi, maka disebut juga sebagai ‘perantara’ (wasilah) atau yang mengantarai kedua sisi tersebut. Karena posisinya berada di tengah ia bisa juga disebut sebagai pengantar atau penghubung, yakni yang mengantarkan atau menghubungkan atau menyalurkan sesuatu hal dari satu sisi ke sisi lainnya.

sumber : http://dokterindra.com/tag/tujuan-komunikasi/

No comments:

Post a Comment